Pengembaraan Marco ke pelosok-pelosok Asia kemudian dituturkannya kepada seorang penulis bernama Rustriachello di penjara Palazzo di San Giorgio, Genoa. Oleh sang penulis, terbitlah buku perjalanan Marco Polo yang terkenal itu, yang menghasilkan sebuah "deskripsi dunia timur" yang menarik yang membuat kisah itu menjadi abadi. Inilah awal mula runtuhnya mitos-mitos tentang bangsa Asia di Eropa, sehingga tersedia ruang kosong untuk Asia di bangsa Italia.
(Selalu) Bermula dari Kekalahan
Dalam dunia sepakbola, interaksi pertama kalinya antara Asia dan Italia terjadi di Middlesborough di tahun 1966 saat Piala Dunia digelar di Inggris. Tragisnya, perkenalan awal itu memberikan luka yang amat mandalam bagi Gli Azzuri. Orang Italia menyebutnya sebagai sebuah "bencana".
Tapi bagi khalayak ramai, peristiwa 1966 itu dijuluki sebagai "The Greatest Shock in World Cup History". Sebuah sebutan yang cocok, karena memang saat itu peristiwa tersebut sempat mengguncang dunia sepakbola. Tim debutan yang baru pertama kali mencicipi persaingan Piala Dunia, yaitu Korea Utara, secara mengejutkan mampu mengalahkan sang favorit juara Italia dengan skor 1-0, dengan Pak Doo-Ik sebagai pencipta gol. Kemenangan ini berimbas pada lolosnya Korut ke perempat final dan pulangnya Giani Rivera cs dengan rasa malu.
Koran-koran Inggris pun dengan satir mengantar kepulangan tim Italia dengan headline-headline yang terasa pahit didengar:
"Disaster, Drama and Fairy Story."
"The fall of the Roman Empire has nothing on this!"
Tak ayal, saat mendarat di Roma ribuan orang sudah menyambut kedatangan tim di bandara dengan rasa murka yang tiada tara.
"Setiba mendarat di Bandara semua orang ternyata sudah menunggu kedatangan kami. Tim disambut pulang layaknya orang bodoh. Orang-orang melemparkan tomat, telur dan segala macam sampah lainnya. Itu sangat gila!" keluh striker Italia kala itu, Sandra Mazzorla, dalam film dokumenter The Game of Their Lives.
Kemenangan David "Korea Utara” atas Golliath "Italia" membuka mata bahwa sepakbola tak hanya dimiliki oleh Eropa, Amerika, ataupun Afrika. Bagaimapun juga, toh Asia patut dipertimbangkan. Tetapi sayangnya, butuh waktu 15 tahun untuk menarik minat klub-klub Italia memakai jasa pemain-pemain asia.
Dan lagi-lagi harus kekalahan yang menjadi pemantiknya. Kemenangan telak 4-1 Korea Selatan atas Italia di Piala Dunia U-20 tahun 1981 membuka asa itu. Juventus dan Inter Milan kemudian berebutan mengajukan tawaran kepada striker muda Choi Soon-Ho. Sayang, negosiasi itu batal akibat sikap berbelit Choi yang diharuskan mengikuti wajib militer.
Baru kemudian di tahun 1994, kiprah pemain Asia di Serie A tak sekadar wacana dan terbukti jadi nyata dengan bergabungnya Kazuyoshi Miura bersama Genoa. Tentu ia bukan pemain sembarangan. Selain telah mencetak 16 gol untuk timnas Jepang, Kazu juga memiliki pengalaman banyak bersama Santos di Brasil.
Bersama Genoa karirnya tak begitu mentereng. Baru bermain di laga pertama melawan AC Milan, Franco Baresi sudah mengirimnya ke bangku pesakitan akibat tulang hidung dan punggungnya retak dihantam Baresi. Bersama Genoa, Kazu pun hanya dimainkan 21 pertandingan dan memberikan imbalan berupa mencetak satu gol. Kazu tenggelam di Italia, ia pun pulang kampung dan hanya mampu bertahan semusim di sana.
Sebenarnya, jauh sebelum Italia menerima pemain Asia di era-70an, Liga Jerman telah melakukan itu. Sambutan hangat publik Jerman atas Cha Bum-Kun dan Yasuhiko Okudera membuat dua penyerang itu menjadi salah satu penyerang menakutkan di klubnya masing-masing. Total kedua pemain itu mampu mencetak 169 gol selama berkiprah di Bundesliga.
Sayangnya, kemunculan Kazu, Cha Bum-Kun atau Okudera itu tidak sampai mengubah posisi tawar pemain Asia di Eropa. Sampai suatu masa muncullah sesosok lelaki tua kontroversial nan eksentrik, yaitu presiden salah satu klub gurem di Italia bernama Luciano Gaucci. Presiden dari klub AC Perugia Calcio.
Eksperimen Gaucci yang Mengubah Italia
Jauh sebelum sang profesor ekonomi Arsene Wenger bereksperimen lewat Junichi Inamoto di Arsenal, adalah Gaucci yang pertama kali menjadikan pemain Asia sebagai marketing tools. Ini dilakukannya dengan mendatangkan Hidetoshi Nakata ke Perugia usai Piala Dunia 1998.
Padahal saat itu Gaucci sendiri dicerca habis-habisan karena postur Nakata yang dinilai tak akan cocok bermain di Italia. Fans Perugia pun tak begitu suka Nakata karena ia terlalu fashionable dan nyentrik dengan mengecat rambutnya berwarna kuning blonde. Tak bergeming, Gaucci tetep teguh dengan rencananya.
Ternyata tak butuh waktu lama Nakata untuk beradaptasi. Ia langsung jadi idola baru di sana.
Kepopuleran Sang Pahlawan
Di lapangan, Nakata adalah pemain tengah yang garang. Total 10 gol ia cetak di musim pertamanya bersama Perugia. Sementara itu, di luar lapangan Nakata adalah pundi-pundi uang. Dengan cerdik Gaucci memanfaatkan ketenaran Nakata di Jepang sebagai pemasukan bagi klub dan dompet pribadinya.
Sebagai klub yang tak memiliki prestasi dan ketenaran, menjual 70.000 potong jersey Nakata bernomor punggung 7 adalah sesuatu kebangaan. Terlebih lagi yang diuntungkan tak hanya klub. Gaucci pun kecipratan rezeki karena jersey Perugia diproduksi oleh perusahaan Galex yang notabene milik Gaucci juga.
Di Jepang, Nakata menjadi simbol kesempurnaan kaum adam. Kata "Hidetoshi" itu sendiri berarti "Pahlawan". Dan begitulah bangsa Jepang memuja Nakata. Gaucci menyadari label Hidetoshi adalah keberntungan baginya.
"Ketenarannya di Jepang itu melebihi Leonardo di Caprio dan Alessandro del Piero," ucap Gaucci kepada La Republica.
Sindrom Nakata-mania di Jepang dimanfaatkan betul oleh Gaucci. Dia bekerja sama dengan agen travel lokal di Jepang untuk mengadakan "Nakata Tour" ke Italia. Paket yang ditawarkan adalah selain mengunjungi tempat wisata di Italia, wisatawan pun diajak mengunjungi pabrik Galex milik Gaucci untuk membeli merchandise klub, sebelum akhirnya di akhir pekan menonton langsung Nakata di Stadion Renato Curi.
Apakah tur itu sukses? Nalar sederhana berkata untuk apa jauh-jauh terbang ke Italia hanya untuk menonton tim gurem berlaga? Tetapi jangan sangka, selama satu musim 3.000 orang Jepang rela menempuh jarak 6.000 mil hanya untuk melihat secara langsung saudara sebangsanya bermain di Serie A yang kala itu dijuluki sebagai kompetisi tertinggi di Eropa.
Di musim yang sama, saat melawan Juventus pada 6 september 1998, tercatat lebih dari 500 orang Jepang hadir di Stadion untuk mendukung Perugia. Kehadiran saudara-saudaranya membuat Nakata tampil kesetanan. Kendati kalah 4-3, Nakata berhasil menjaringkan 2 gol ke gawang Angelo Peruzzi.
Saat membeli Nakata di tahun 1998, Gaucci hanya merogoh kocek 4 juta dolar. Dua tahun kemudian, saat menjual aset terbaiknya ke AS Roma, Gaucci bisa mendapatkan hingga 25 Juta dolar. Sebuah keuntungan yang tak terkira bukan?
Namun bagi Il Giallorossi harga ini setimpal, karena Nakata ikut membantu mereka meraih gelar scudetto ketiga.
Mencoba Peruntungan di Belahan Asia lainnya
Keutungan yang didapat Perugia dengan Nakata sempat ditiru oleh Venezia dengan meminjam Hiroshi Nanami dari Jubilo Iwata di pertengahan musim 1999/2000. Sayangnya Nanami tak mampu berkutik apapun di Italia dan hanya bertahan enam bulan. Ia pun mudik ke Jepang.
Kepergian Nakata dari Perugia nyatanya tak menghentikan pejudian Gaucci dengan pemain Asia. Habis Nakata, terbitlah Ahn Jung Hwan, pemain Korea Selatan yang ia pinjam dari klub Busaan Daewoo. Kedatangan Ahn tentunya adalah sensasi karena ia pemain Korsel pertama yang merumput di Serie A. Publik sudah membaca motif bisnis berada di balik kedatangan Ahn.
Sayang beribu sayang, Ahn tenyata tak sesukses pedahulu Jepangnya. Selama dua musim ia hanya dimainkan 30 kali dengan mencetak 5 gol. "No Supertar, No Money". Sebuah kerugian yang harus ditanggung Gaucci.
Kegagalan Ahn memicu Gauci untuk terus melakukan scouting ke Asia. Targetnya kali ini adalah Asia Barat. Maka didapatlah dua pemain Iran, Rahman Rezaie dan Ali Samereh.
Tapi insiden 11 September dengan jatuhnya menara World Trade Center di New York membuat adanya kerenggangan antara dunia barat dan negara-negara muslim. Kondisi ini otomatis membuat buyar rencana Gaucci dengan eksperimen Irannya. Terlebih lagi dua pemain Iran yang itu juga tak menunjukan performa yang menjual.
Bukan Gaucci jika ia tak berucap sompral dan fenomenal. Orang pasti ingat gol Ahn Jung-Hwan saat mengusir Italia dari Korea Selatan di babak 16 besar Piala Dunia 2002. Dipuja di Korea, Ahn dinista di Italia. Tragisnya, yang begitu frontal mencerca adalah klubnya, Perugia.
Gol Ahn itu tentunya membuat si bos besar geram dan murka. Lelaki setengah gila itu dengan bangga berbicara di depan Pers. "Ahn tak akan pernah menginjakkan kaki lagi di Perugia, saya tak mau menggaji pemain yang telah merusak persepakbolaan Italia," ledeknya.
Komentar piciknya ini tentu saja mendapat cibiran publik Internasional. Pemecatan sepihak dari Perugia membuat Ahn mendapat simpati dunia. Tapi sayang FIFA tak mampu berbuat apa-apa.
Ketegangan meningkat saat federasi sepakbola Asia Timur sepakat untuk melarang pemainnya berlabuh di Perugia. Beberapa pihak bahkan meminta lebih dengan memboikot klub-klub Italia secara keseluruhan, karena toh ucapan Gaucci adalah representasi dari publik Italia yang merendahkan orang Asia.
Beruntung, yang dicap buruk dan pembuat onar di Italia hanya Perugia. Di tahun-tahun berikutnya eksodus pemain Asia ke Liga Italia pun tetap terjadi. Sayang, hanya klub-klub gurem saja yang mau menerimanya: Cesena, Reggina, Venezia, Messina, Torino dan Sampdoria.
Dari 5 pemain yang pernah bermain di Serie A, tak ada yang mampu menyamai kehebatan Nakata. Oleh 5 pemain itu, Italia hanya dijadikan tempat singgah untuk duduk di bangku cadangan selama pertandingan digelar.
Sejauh ini, baru Yuto Nagatomo di Inter Milan yang setidaknya mampu menyandang gelar "Nakata baru". Shunsuke Nakamura, biarpun terbilang sukses bersama Reggina, dan kemudian membuatnya lebih bersinar dan bermain di Celtic, juga tidak sampai menjadi juara di Italia.
Italia, Gerbang Asia Menuju Eropa
Dulu, lewat Marco Polo, Asia diperkenalkan oleh Italia kepada Benua Eropa. Lewat Italia juga Eropa membuka mata bahwa dalam soal urusan sepakbola Asia tak boleh dilupakan, karena di sana ada bakat yang bisa dijual dan pasar yang begitu menguntungkan.
Seperti simbiosis mutualisme, Asia pun patut berterima kasih kepada Italia. Wartawan tabloid BOLA, Arief Natakusumah, pernah berpendapat bahwa Serie A disebut sebagai pionir awal alat globalisasi sepakbola masuk ke Asia, khususnya Indonesia, hingga membakar animo mayoritas masyarakat kita untuk menggemari sepakbola Eropa.
Serie A juga dikenal sebagai batu loncatan yang menyeret Asia ke dalam putaran kapitalisme sepakbola dunia: mercusuar industri periklanan serta media cetak dan elektronik yang berbau sepakbola.
Simbiosis itu kini telah naik ke level lebih tinggi. Dengan kekuatan uang, Asia memaksa adanya kesempatan untuk memegang peran penting dalam persepakbolaan Italia. Tak hanya sebagai pemain, tetapi sebagai pemilik. Sebuah jabatan tertinggi dalam suatu klub.
Dan taipan itu muncul dari sebuah negara nun jauh di timur di sana, yang Marco Polo ucap sebagai Negeri dreamland tempat unicorn [badak] berasal. Suatu negeri yang indah namun di dalamnya penuh dengan perpecahan.
Sumber :http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/10/27/100551/2396480/1497/simbiosis-mutualisme-sepakbola-italia-dan-asia?b99220170
total komentar :