Mencari analogi hubungan antara Moratti dan Internazionale Milan bisa dikatakan agak susah-susah gampang.
Menggunakan perumpamaan seperti sepasang kekasih bisa digunakan, karena tak ada yang meragukan bahwa Moratti sangat mencintai Inter Milan. Bahkan dengan kecintaan yang mampu membuatnya mengeluarkan uang hingga lebih dari 1 miliar dolar. Menjadikan Inter klub dengan pengeluaran terbesar di Italia selama 15 tahun terakhir.
Tapi, lewat kata-katanya pada La Gazzetta Dello Sport, Moratti memberikan sendiri pengibaratan yang pas, yaitu antara seorang ayah dan anak perempuannya.
Pada sang putri biasanya seorang ayah tak bisa mengatakan tidak. Juga sulit untuk menolak semua permintaannya, meski itu berarti memanjakannya dengan mengosongkan semua isi dompetnya. Lihat pula betapa banyak ayah hanya ingin yang terbaik yang boleh untuk disandingkan dengan sang putri.
Ini pula yang dilakukan Moratti pada Inter Milan. Dalam masa kepemimpinannya, ada 20 pelatih yang ia pekerjakan untuk menangani Inter. Seolah Moratti tak merestui pelatih-pelatih semenjana untuk menangani klubnya.
Moratti pun seakan enggan memberikan waktu untuk belajar atau untuk melakukan kesalahan. Sekali saja berulah, pemecatan jadi jawabannya. Sepanjang Moratti memimpin, hanya Roberto Mancini dan Jose Mourinho, pelatih yang membawa Inter ke prestasi tertinggi, yang ia perlakukan secara baik.
Lebih jauh lagi, lihatlah cara Moratti memanjakan Inter. Pemain-pemain paling mahal di dunia didatangkan meski tak jelas kecocokannya dengan tim atau pelatih. Agen pemain yang menuntut nilai kontrak berlebih pun sering kali dituruti keiinginannya.
Pokoknya, berbagai cara akan ditempuh Moratti demi menyenangkan sang putri berbusana biru-hitam miliknya.
Melihat Tim yang Disentuh oleh Tangan Tuhan
Jika dalam kata-katanya pada La Gazzetta Moratti mengidentikkan (kecantikan) putrinya dengan wanita dari masa lampau, maka sesungguhnya itu tak salah. Di masa kecil Moratti, Inter memang boleh dibilang sebagai (wanita) idola Italia. Nah, di usianya yang masih 10 tahun, Moratti kecil sudah asik mendukung tim berkostum biru-hitam itu.
Kala itu Inter ditangani oleh ayah Massimo: Angelo Moratti. Ia adalah pemilik Inter dari tahun 1955 hingga 1968, dan juga orang yang membawa sang pelatih legendaris Helenio Herrera ke sana.
Kehebatan Inter Milan pada pertengahan 1960-an dibangun dari kombinasi kedua orang itu. Angelo, seorang milyuner yang merangkak dari bawah dengan usaha minyaknya, dan Hererra, pelatih Argentina kelahiran Spanyol yang sempat membawa Barcelona dua kali juara.
Keduanya pula yang merevolusi sepakbola Italia dengan melakukan banyak hal: menerapkan metode latihan dan manajemen pemain yang semimiliter serta mengorganisasi fans untuk laga-laga tandang. Di atas lapangan, Inter juga yang mempopulerkan kombinasi catenaccio dengan serangan balik yang super cepat dan indah.
Di masa kecilnya, Massimo menyaksikan bagaimana Angelo dan Helenio menjadikan Inter salah satu tim terbaik Eropa masa itu. Bahkan, tiga kali scudetto dan dua kali jadi kampiun Eropa bisa diraih Inter hanya dalam waktu empat tahun.
La Grande Inter. The Great Inter. Tim yang yang disentuh oleh tangan Tuhan. Demikian julukan yang diberikan oleh orang-orang pada tim itu.
Dalam buku 'Calcio: The History of Italian Football' disebutkan bahwa kehebatan The Great Inter ini pernah disebut-sebut pada sebuah film, Ecce Bombo (1978). Film satir ini bercerita tentang sekumpulan pelajar yang sedang mencari arti hidup.
Di satu bagian film itu, ketiganya dikisahkan sedang coba untuk mengingat nama-nama presiden Italia dari tahun 1946. Mereka memulainya dengan sempurna: 'De Nicola'. Tapi setelah menyebut nama itu, ketiga pelajar itu secara otomatis, malah mengucapkan nama-nama ini seperti mantra.
Burgnich, Facchetti, Bedin, Guarnieri, Picchi, Jair, Mazzola, Domenghini, Suarez, Corso: Nama-nama pemain The Great Inter.
Moratti |
"Tak ada masa paling Indah buat Inter, kecuali masa kepemimpinan ayah saya dan kepelatihan Helenio Herrera. Mereka membuat seluruh tifosi Inter bahagia," ujar Moratti.
Mengubah Milan jadi Berlin
Saat ayahnya melepaskan Inter Milan, Moratti pun kembali jadi fans biasa. Ia kemudian melabuhkan kakinya pada Saras Raffinerie Sarde SpA, perusahaan keluarga yang melingkupi produksi minyak dan listrik. Kakaknya menjadi pemimpin, sementara Moratti jadi pekerja. Namun, pikiran Massimo tak pernah bisa dilepaskan dari Inter Milan.
Pada Februari 1995, Moratti kemudian membeli Inter dari tangan Ernesto Pellegrini. Pada masa ini, tetangga sekaligus rival terberat Inter, AC Milan, telah diakuisisi oleh Silvio Berlusconi dan sudah memulai masa kejayaannya. Kalau boleh menerka-nerka, boleh jadi salah satu alasan dibelinya Inter adalah karena Moratti tak ingin Inter tertinggal lebih jauh lagi dari tetangganya.
Maka dimulailah dinasti Moratti yang kedua. Atau, periode waktu saat Inter menjadikan uang sebagai jawaban atas segala permasalahan. Pemain-pemain dan pelatih mahal didatangkan Moratti dengan harapan satu: dengan tangannya sendiri mereinkarnasi wanita cantik yang ia pernah lihat di masa lalu.
Namun kemurahan hati Massimo dalam menggelontorkan uang tak serta merta menjadikan Inter kembali sukses. Pemain-pemain yang ia datangkan tak bersinar dalam balutan seragam Inter. Malah, setelah meninggalkan Nerazzurri, barulah mereka menemukan permainan terbaiknya.
Ada Dennis Bergkamp, Clarence Seedorf, Andrea Pirlo, Roberto Carlos, Gilberto Da Silva, yang pernah membela Inter namun keluar tanpa merasakan kejayaan.
Memasuki pertengahan dekade 2000-an, kondisi Inter semakin memburuk. Dalam konteks perebutan gelar juara, mereka dikenal sebagai tim yang sering memberikan harapan tinggi pada fansnya, hanya untuk menghempaskan harapan itu di akhir musim. Inter jadi tim yang selalu hancur di bawah tekanan.
Non vincente mai. "Kalian tidak pernah menang."
Jadi ejekan yang sering kali dilemparkan oleh para fans klub lain pada Inter. Ejekan ini tentu membawa suatu sakit hati tersendiri, karena diplesetkan dari nyanyian favorit suporter Inter: "non mollare mai – jangan pernah menyerah".
Berada di puncak pemegang tanggung jawab, Moratti tentu jadi bulan-bulanan suporter garis keras Inter. Ia dianggap tidak kompeten dan sebagai presiden terlalu banyak ikut campur hingga ke urusan terkecil.
Salah seorang fans Inter malah pernah berujar, jika saja Moratti menjadi walikota Milan, maka dalam waktu sekejap saja ia akan mengubah Milan jadi Berlin di tahun 1945, yaitu Berlin yang baru saja hancur karena Battle of Berlin di perang Eropa.
Sekali Berarti Sesudah Itu Mati
Sepakbola selalu dipenuhi dengan narasi tentang penebusan. Tentang bagaimana mengalahkan nasib buruk atau mengubah garis tangan.
Secara singkat, cerita tentang trebble yang diraih Inter pada 2010 bolehlah dikatakan tentang penebusan dosa Moratti. Ia yang kerap menggonta-ganti pelatih dan memperlihatkan buruknya manajemennya, membayar kesalahan dengan satu penunjukan: Jose Mourinho.
Di bawah pelatih asal Portugal itu, Inter meraih prestasi yang belum pernah dilakukan Juventus, AC Milan, atau AS Roma sebelumnya: juara Serie-A, juara Liga Champions, dan juara Coppa Italia dalam satu musim.
Semua ejekan tentang Inter yang hanya berprestasi karena pesaing-pesaing lainnya sedang lemah dalam periode post-calciopoli pun runtuh seketika dengan raihan trebble ini. Bagaimana tidak. Inter menang Liga Champions bukan di era biasa. Tapi di era-nya the invicible Barcelona. Di eranya titisan Maradona.
Namun, di balik semua keberhasilan di lapangan, Moratti tetap saja gagal untuk memperkuat Inter, terutama dari sisi finansialnya. Mengontrak banyak bintang, berarti Inter beroperasi jadi mesin yang menyedot uang Moratti. Meski memenangkan Liga Champion, nilai kontrak komersial yang didapatkan Inter Milan pun tetap sepertiga dari yang didapatkan tetangganya, AC Milan.
Inter tak mampu menjadikan kemenangan dan kepopuleran sebagai juara Liga Champions sebagai "alat" untuk membuka pasar baru. Padahal, di saat yang bersamaan, Stadion San Siro pun mulai usang dan membutuhkan banyak perbaikan. Bukannya bersenang-senang, setelah raihan trebble itu, Moratti malah seolah tiba-tiba dihadapkan pada tuntutan sepak bola modern yang kerap ia abaikan sebelumnya: perampingan gaji pemain, Financial Fair Play, stadion baru. Kontrak komersial, dan segala urusan-urusan besar lainnya.
Apalagi sejak 2009, Saras Raffinerie Sarde SpA, sumur uang yang mendanai semua kegiatan Moratti di Inter, pun mulai terpuruk. Perusahaan itu sudah tak membayar deviden bagi para pemilik dan harus menjual sebagian sahamnya pada perusahaan Rusia, Rosneft.
Dalam 5 tahun terakhir, Moratti hanya mendapatkan uang dari Saras sebesar 50 juta euro, sementara biaya yang ia keluarkan untuk Inter mencapai 473 juta euro. Bagi Moratti yang sangat mencintai putrinya, hal ini tak dianggap beban. Karena, mengutip ucapannya di atas, memberikan segalanya adalah hal yang benar.
Tapi, mudah ditebak jika praktek seperti ini tak mungkin berlangsung lama. Ini juga hanya akan berujung pada satu hal: kehancuran Inter Milan, satu hal yang tak mungkin dilakukan Moratti.
Pada Februari 1995 Moratti membeli Inter Milan dan ingin menghadirkan kembali wanita cantik yang ia kenal di masa kecilnya. Lima belas tahun kemudian impiannya tercapai. Delapan belas tahun kemudian, demi masa depan klub tercintanya, Moratti mesti melepaskan (sebagian besar) hidupnya dari Inter.
Namun segala hidup memang harus padam. Demi sesuatu yang baru, yang tak pernah terduga. Dan sutradara ketakterdugaan itu mungkin bernama Erick Thohir.
Sumber :http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/10/30/104920/2399157/1497/mengingat-sejarah-panjang-dinasti-moratti
total komentar :